Mempertahankan Leluhur

Mempertahankan Leluhur
Desa Simatupang MUARA-TAPUT

Selasa, 05 Oktober 2010

Let Me Go with You, Socrates! ( Suara Merdeka Semarang)

Setiap melihat diriku, orang-orang selalu mengira aku seorang pujangga. Sesering mereka mengatakan ya, sesering itu pula aku mengatakan tidak.
“Aku bukan seorang pujangga. Kenapa kalian tak pernah mengerti? Berhentilah menjadi orang bodoh!”
“Ah, Fran, tidakkah kau sadar, ini bukan tentang apa yang keluar dari mulut kami, melainkan tentang semua yang ada pada dirimu!”
“Tapi aku bukan pujangga, sungguh, aku hanya seorang yang kerap melontarkan hal-hal yang indah, menyentuh, melankolis, sentimentil, dan puitis berdasarkan naluri spontan yang teronggok dalam benakku. Kalian tahu jika semua itu tak segera kukatakan atau kulakukan, kepalaku bisa sakit!”
“Spontanitas-mu membuatmu menjadi pujangga!”
“Ketidak-adilan hiduplah yang membuatku begitu sering berceracau tentang diriku, tentang alam dan bahkan sang Pencipta, itu hanya luapan buih-buih hati yang tak sempat kupendam! Tapi itu tidak serta-merta membuatku menjadi pujangga! Mengertilah…, mengertilah…”
“Kenapa kau begitu benci menjadi pujangga? Bukankah itu sebuah potensi yang membuatmu menjadi figur terkenal?”
“Hahahaha, terkenal? Lupakan! Kalian pikir aku orang yang kemaruk pada popularitas dan haus akan aktualisasi diri? Kalian salah besar. Dan maaf, aku bukan Socrates, Plato, atau Aristoteles…, aku bukan Shakespeare! Jadi berhentilah bersikap seolah aku akan benar-benar perlu menjadi seperti mereka.”
“Apa pun yang kaukatakan Fran, kau tetaplah seorang pujangga bagi kami. Setiap kata yang terlontar dari mulutmu adalah inspirasi. Kami ingin seperti dirimu Fran…”
“Terserahlah, aku lelah. Kalian boleh menjadi siapa pun jika kalian mau, tapi tolong jangan paksa aku untuk menjadi siapa pun selain diriku sendiri, kelak akan kubuktikan bahwa aku bukan seorang pujangga!”
***
Percayakah kau, jika terlalu lama mendekam dalam ketidak-pastian nasib, kenisbian waktu, ketidak-pedulian masa dan keangkuhan zaman, maka hari-harimu akan semakin mengecil, meranggas, kehilangan rona dan warna, berkerut dalam retina matamu, dan kemudian yang kaulihat hanyalah seonggok dunia abu-abu? Ya, abu-abu karena warnanya telah kau telan bulat-bulat saat tak ada lagi yang kau santap saat perutmu lapar. Sebab rona cerahnya telah kaugadaikan saat tak sepeser pun rupiah yang tersisa dalam saku-saku celanamu yang kusut masai demi membunuh rasa sakit dan nyeri di tubuhmu!
Maka, bagiku persaudaraan adalah inskripsi yang melompong, hampa tergerus idealisme hipokrit yang memompa busa dari mulut-mulut orang yang tidak pernah mengenal rasa getir! Bagiku empati adalah permata safir di tengah kubangan lumpur congkak, namun ia kini seperti barang langka yang terancam punah.
Amat banyak manusia penganut egoisme kronis yang mulutnya mengobral retorika, mengipas-ngipas keangkuhan, sembari berkata: “Dengar, seisi dunia boleh meluncur ke neraka selama mereka tidak perlu menjadi seperti aku!” Menjijikkan, bukan??
Pun dari mereka, menjamurlah komunitas yang terlalu mudah menjadi hakim bagi orang lain, komunitas ‘Ge-eR’ yang dengan sangat self-confident berteriak lantang: ‘Kamilah pewaris surga, di luar kami, neraka bagi mereka!’ Mereka dengan sangat pe-de mengaku sebagai penjunjung sejati kerajaan Allah sang Khalik, setidaknya menurut mereka sendiri. Padahal tak sedikit yang tak peduli. Karena bagiku, mereka tak pernah mendalami makna tentang ke-fakiran yang hampir selalu bersanding dengan ke-kafiran. Idealisme mereka tentang persaudaraan hanya mencuat di ruang-ruang akademisi, ruang yang masih menjadi replika dan prototipe dari kehidupan yang sebenarnya!
Di tengah ketidak-pedulian, akulah sebatang kara. Mereka tak ingin aku ada, mereka ingin aku beranjak beberapa jengkal, beberapa hasta, beberapa depa, beberapa mil, untuk kemudian menjauh, mengecil, mengerut, meng-atom menuju tiada. Namun bagiku, hidup sepertinya terlalu mahal untuk disesali, dan aku tak akan merasa kehabisan air hingga sumurku mengering.
Sungguh, ketidak-pedulian dunia telah membuatku menikmati kesendirian, aku telah mati-rasa pada kebutuhan untuk berpegang tangan, memeluk seseorang yang ingin kupeluk, mencium seseorang yang ingin kucintai. Keangkuhan dan arogansi membuatku kebal pada naluri ingin menyandarkan kepalaku di bahu seseorang untuk kemudian menumpahkan tangis di sana.
Kesendirian, telah membuatku melupakan air mata. Aku telah lupa cara menangis, walaupun aku sangat ingin melakukannya. Cemeti rasa lapar dan kesakitan luar biasa, membuatku lupa bahwa aku adalah sesosok makhluk yang terbuat dari seonggok daging dan segumpal darah.
Namun, aku tak ingin kehilangan Tuhan dan senyumanku, aku tak sudi menjadi badut yang mencari senyum di sana-sini. Bagiku Tuhan dan senyuman adalah pamungkas yang melenyapkan segala derita dan nestapa. Dua hal itu adalah painkiller-ku, antibiotic-ku, pelindungku dari dunia yang kian hari kian menjelma menjadi sebuah bola racun raksasa. Sesaat lagi dalam waktu yang mustahil diduga, dunia akan menjadi neraka bagiku, nyaris mutlak dan tak terbantah bagi jiwaku yang terpenjara!
** 02.45: Malam ke-21 dari Episode ke-3 dalam Hidupku…
“Wahai anak pujangga, bangunlah, tidakkah kau ingin melihat surga?”, sebuah tangan kekar, menggamit bahuku, membuatku sontak terbangun dari kasur tipis yang bagiku mulai berbau tengik kutu busuk.
Lelaki itu mengenakan jubah putih dengan mahkota menyerupai surai dedaunan yang dibentuk melingkar. Aku jadi teringat mahkota duri yang dikenakan Yesus saat ia digiring ke Bukit Golgota sembari memikul kayu salib yang berkukuran hampir tiga kali tubuhnya.
“Si-siapa kau?”
“Aku adalah kau, Fran. Setidaknya orang yang ingin kau serupai…,” senyumnya seperti berkas cahaya hangat yang melelehkan hatiku yang beku.
“Yang ingin kuserupai?? Tapi, maaf, aku tidak ingin menyerupai siapa pun, cita-cita tertinggiku adalah ingin menjadi diriku sendiri tanpa senoktah intervensi dari makhluk Allah lainnya.”
Siapakah orang ini? Iblis? Jibril? Atau Izrail? Kenapa tiba-tiba ia mengajakku ingin melihat surga??
“Kau punya kapasitas untuk ke surga, Nak. Kau cukup rendah hati untuk tidak menjadi jumawa, benci diagung-agungkan sebagai pujangga. Kau masih merasa memiliki Tuhan, kau masih memelihara senyum, kau terjemahkan keputus-asaan, ketidak-pedulian nasib, kesedihan, dan kesendirianmu menjadi lukisan abstrak nan indah di atas kanvas kehidupanmu yang mulai usang, dengan tetap masih peduli pada sesama, bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak peduli padamu!” ia kembali tersenyum, geliginya putih, seputih mutiara dengan kilap bak permata rubi di istana-istana mewah…
“Lalu, apakah semua itu sudah cukup menjadi tiket bagiku untuk melihat surga, untuk tinggal di sana? Bukankah masih teramat banyak orang-orang yang bersujud siang-malam pada Tuhan hingga kening mereka kusam menghitam demi mengharap surga? Tidakkah mereka lebih pantas dariku??”
“Ah, Fran, anakku, kenapa kau begitu naif? Tidak akan pernah satu amalan pun akan betul-betul menjadi jaminan untuk menghantar seseorang menuju surga. Semesta selalu bergerak dalam denting relativitas. Hanya Dzat Pencipta semesta yang tidak nisbi! Materi dan non-materi, perbuatan dan perkataan hanyalah item-item nisbi yang tidak menjamin seseorang untuk pergi ke surga atau neraka-Nya. Ingatlah Fran, sekepak kecil sayap kupu-kupu di Negeri Cina, bisa menyebabkan tornado besar di Amerika! Semua bisa menjadi kemungkinan atau ketidak-mungkinan!”
“Kenapa kau mengutip the Butterfly Effects? Apa kau ini James Lovelock?”
“Aku bukan Lovelock, Nak…, aku hanyalah seseorang yang ingin melepaskanmu dari nestapa tubuhmu! Sebab, sadarkah kau, saat ini, tubuhmu telah menjadi penjara bagimu?”, ia tersenyum, mengembangkan kedua lengannya seperti hendak memelukku, namun yang kulakukan malah menjauh…
SOCRATES! Hanya Socrates yang berucap seperti itu. Ya, tubuh adalah penjara bagi jiwa manusia. Aku sering mengutip perkataannya, dan seluruh hidupku kini telah menjadi eufemisme dari perkataannya yang bertuah itu!
Lelaki berjubah putih itu tersenyum penuh arti, ekspresi hangatnya terlihat puas, dan aku tahu ia telah mengetahui bahwa diriku telah menebak siapa dirinya…
Mendadak, udara subuh terasa panas, hawa panas itu menjalar ke kamarku yang berukuran 3×4 meter ini. Ah, telah lama tubuh kasar ini tak bersahabat lagi dengan gravitasi bumi, sudah tak seiring dengan udara pagi yang bagiku mulai menyesakkan dada. Pohon-pohon terlihat seperti pancang-pancang api yang terhunjam ke perut bumi, awan terlihat seperti onggokan asap hitam yang menjalar keluar dari cerobong pabrik, nyaris selalu penuh racun! Kicau burung pipit yang selalu kudengar di setap pagi menjelma raungan monster yang menyeramkan. Tiba-tiba aku merasa haus, sangat haus…
“Minumlah, Fran, kau sudah terlalu lama kehausan di dunia, maka inilah air yang membuatmu tak akan haus lagi untuk selamanya…”, lelaki yang kuanggap Socrates itu menyodorkan segelas air yang terlihat sangat nikmat bagiku. Aku seperti mengenal aroma minuman ini, namun itu tidak mungkin! Air ini adalah air surga, aku pasti belum pernah meminumnya!
Kutenggak air di gelas bening itu, hingga tak setetes pun tersisa. Hmm…, rasanya nikmat sekali!
Kemudian Socrates menyodorkan sebuah cangkang kerang berwarna-warni, indah, berkilap tak terlukiskan. Cangkang itu seolah dipelitur dengan tinta emas, saking berkilap, aku bisa merasakan cahayanya menerangi kamarku yang gelap dan memantulkan wajahku yang tirus, kurus dan letih, di permukaan cangkangnya…
Kuambil cangkang kerang itu dengan tangan bergetar…, kudekatkan ke telingaku, dan aku mendengar…SUARA DEBUR OMBAK!
Itukah suara surga??
“Kemarilah, Nak…,” Socrates mendekapku erat ke dalam pelukannya, menyelimutiku dengan jubah putihnya, mengusap rambut dan ubun-ubunku.
Kali ini aku tidak sanggup lagi mengabadikan dusta bahwa aku tidak butuh dekapan seseorang, bahwa aku kebal untuk tidak menangis, bahwa aku mampu bertahan untuk tidak memegang tangan seseorang, ingin mendekap atau didekap dan meluahkan air mataku…, kali ini aku kembali menjadi sesosok manusia yang punya rasa dan emosi…, kali ini aku sangat…, sangat membutuhkan semua itu! Sangat membutuhkan kasih sayang!
Dan kali ini, aku menangis….
“Socrates, apakah kau jelmaan arwah ibu atau ayah yang telah pergi meninggalkan aku?”
Kata-kataku hanya berjawab sunyi, lelaki itu hanya diam dan kembali mengusap ubun-ubunku penuh kasih sayang…
Ia mendekatkan cangkang kerang itu ke telingaku…
Ah…, suara laut memanggil, menjanjikan dunia yang luas tanpa batas dalam tangkupan sebuah cangkang kerang mungil. Mutiara di dalamnya adalah Pulau Surga. Tiada yang bernama kepedihan, kepiluan dan keangkuhan di sana.
“Wahai anakku, keluarlah dari penjara tubuhmu, mari menuju Firdaus yang terjanji!”
Maka kugenggam erat tangan Socrates.
“Bawa aku pergi, wahai Filsuf! Dunia ini… sudah menjadi neraka!”
Epilog: 09.45…
Pagi itu massa berkerumun di depan kamar berukuran 3×4 meter di sebuah rumah kontrakan. Di tengah kerumunan itu, sesosok tubuh terbujur kaku, dengan wajah sangat pucat dan sisa-sisa leleran buih dari mulutnya. Namun, wajah itu seolah tak terlihat seperti orang yang menderita, mulutnya seperti orang tersenyum penuh damai.
Tim penyidik dari kepolisian terlihat turun tangan, ketua tim itu memutuskan untuk membawa tubuh yang sudah kaku itu ke rumah sakit untuk menjalani proses autopsi.
Hasil penyidikan menyimpulkan, tubuh yang sudah kaku itu bernama Zhafran Syauqi dengan panggilan akrab Fran, pernah menjadi mahasiswa fakultas ilmu budaya di sebuah universitas negeri ternama di kota ini, namun dari keterangan yang dihimpun dari berbagai sumber, studi-nya terputus karena kedua orangtuanya telah tiada, dan para saudara dan sanak famili-nya menelantarkan hidupnya disebabkan nafsu serakah dan perebutan harta kekayaan orangtuanya.
Fran memutuskan untuk berhenti kuliah namun tidak pernah lagi kembali ke kampung halamannya. Ia bekerja serabutan di rantau orang, hidup menyendiri, susah dan serba kekurangan, menjauh dari keluarga dan sahabat-sahabatnya karena merasa depresi.
Dua tahun terhitung setelah ia berhenti kuliah, dokter memvonis Leukemia akut pada diri Fran. Kenyataan itu membuat Fran semakin terpuruk, namun ia menyembunyikan kesedihan dan keputus-asaannya sejauh mungkin, ia tidak ingin orang tahu tentang penyakitnya kecuali dokter. Ia tetap memelihara senyum, beribadah, dan tegar, walaupun ia juga dikhianati oleh kekasihnya yang pergi bersama laki-laki lain karena menganggap Fran seorang yang miskin dan lelaki terbuang yang tak memiliki jaminan masa depan cemerlang. Terbuang sendiri di kota besar ini.
Diduga Fran meninggal karena meminum racun serangga, karena mulutnya mengeluarkan buih dan berbau insektisida.
Zildjian atau Jian, teman satu kost Fran menemukan sebuah cangkang kerang mungil di kamar Fran, di atas kerang itu tertempel secarik kertas bertuliskan: LET ME GO WITH YOU, SOCRATES!
Lalu ada sebait lirik puisi di bawah tulisan itu:
maka, di sinilah surga itu
dan ternyata surga begitu sepi
namun aku ingin tetap di sini
sebab kuingat janji-Mu, Tuhan…
jika aku datang dengan berjalan
maka, Kau akan menjemputku
dengan berlari-lari….
Jian hanya bisa berujar dalam hati dengan mata berkaca-kaca:
“Ah, sang pujangga…, kau belum membuktikan bahwa kau BUKAN seorang pujangga!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar