Oleh : Tigor Damanik SH
" ............... Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon, i do i lului na deba, di na deba, asal ma tarbarita goar na tahe …............" (Ju dul lagu : "Alusi Au", Oleh Nahum Situmorang)
Sepenggal syair sebuah Lagu Batak Nostalgia "terkenal" yang secara letterlijk/harfiah, kira-kira artinya begini : "Kekayaan, Kesuksesan dan Kehormatan, itulah yang dicari oleh sebahagian orang. Namun ada juga sebahagian orang lain yang (mencari kekayaan, kesuksesan dan kehormatan) tujuannya hanya sekedar untuk meraih popularitas, atau asal namanya terkenal saja ...........................".
"Hamoraon" = kekayaan. Dengan memiliki harta kekayaan, bisa membuat orang dikenal dan terkenal serta dipuja-puji. Bahkan oleh orang-orang tertentu yang cara berpikirnya "ambisius", akan berusaha menumpuk harta kekayaan yang bisa sampai menghidupi anak- cucunya tujuh turunan!
"Hagabeon", berasal dari kata dasar "gabe" = berhasil atau sukses. Hagabeon berarti keberhasilan atau kesuksesan. Sukses didalam pendidikan, baik di diri sendiri, di diri istri dan di diri anak-anak beserta seluruh keturunannya. Karena dengan memiliki hagabeon, sukses atau berhasil didalam pendidikan, dalam arti seluruh keluarganya bergelar sarjana/berpendidikan, sudah itu berpangkat dan berjabatan pula, bisa membuat seseorang, bukan hanya dikenal dan terkenal, tetapi juga disegani dan dihormati.
Sedangkan "Hasangapon", berasal dari kata dasar "sangap" = dihargai atau terpandang. Bisa juga berarti disegani dan dihormati. Atau juga, bisa diartikan sebagai kehormatan dan kebahagiaan. Dihargai dan dihormati oleh masyarakat dan lingkungannya, antara lain oleh karena yang bersangkutan kaya raya, karena sarjana atau karena berpendidikan tinggi lainnya, dan atau karena berpangkat dan berjabatan.
Akan semakin lebih dihormati lagi bilamana orang yang memiliki harta kekayaan tersebut ternyata juga memiliki iman yang teguh, penuh kasih, suka dan mudah beri-memberi, berperilaku bijaksana, rendah hati, sopan dan santun serta ber- empati.
Pure Competition
Berupaya untuk bisa menjadi kaya-raya, meraih sukses dan mendapatkan kehormatan serta kebahagiaan merupakan sesuatu hal yang wajar dan manusiawi. Asal saja cara untuk mendapatkan kesemuanya itu dilakukan dengan kerja keras, penuh semangat, jujur dan tidak berefek samping negatif terhadap orang/pihak lain.
Antara lain, bahwa cara untuk mendapatkannya tidak sampai membuat orang/pihak lain menjadi mengalami kesulitan, apalagi sampai mengalami penderitaan. Tapi dilakukan dengan cara-cara pure competition (bersaing secara murni), yakni dari perilaku jujur, bukan dari hasil sikut-sikutan!
Sebab fenomena kehidupan manusia dewasa ini, entah karena mungkin sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber pangan dan kesempatan yang sudah semakin sangat terbatas, ditambah lagi karena watak "serakah" manusia, sehingga semangat untuk ber- "pure competetion", oleh sebahagian orang ("dinadeba") bahkan oleh banyak orang dijauhi, bahkan terkesan dikesampingkan atau kalau bisa ditiadakan!
Ber-pure competiton atau bersaing secara murni, dengan asumsi bahwa mental dan moral manusia masih dalam keadaan wajar/standar, tidak akan ada alasan untuk menyatakan, khususnya bagi yang akan berkompetisi, bahwa pure competiton tidak bisa dilaksanakan, antara lain karena semakin banyaknya para pesaing. Sehingga untuk dapat memenangkan atau dimenangkan didalam suatu kompetisi/pertarungan, mereka sampai berdalih, memerlukan sejumlah uang dari kocek untuk "menyogok" si pemilik kewenangan.
Sedangkan panitia seleksi (pansel) institusi berdalih, oleh karena gaji dan kesejahteraan yang masih belum mencukupi, bahkan sangat minim, maka diopinikanlah bahwa menerima sogokan dapat dihalalkan sebagai alasan pemaaf.
Perihal halal dan haram, seorang rekan pernah menyatakan bahwa tidak ada uang haram. Yang ada, adalah bagaimana cara untuk mendapatkan uang tersebut, apakah dilakukan dengan cara-cara halal, atau sebaliknya dilakukan dengan cara-cara haram, yakni didapat karena melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum?
Sehingga kurang lebih sama, bahwa dalam hal mendapatkan jabatan atau keberhasilan/kesuksesan-pun, apakah juga dilakukan dengan cara-cara pure competition (persaingan murni), atau sebaliknya dilakukan dengan cara onerlijk concurentie (persaingan curang) yang tidak mengindahkan etika atau bahkan sampai melawan dan atau melanggar hukum/ketentuan?
GJ dan JG
Saat ini, patut diduga bahwa banyak dan bahkan hampir semua institusi, dimana para pejabat/petingginya, yang dengan berdalih penilaian pegawai/pejabat berbasis kinerja dan kompetensi seringkali mengabaikan etika organisasi. Antara lain, bahwa banyak pegawai yang belum lama bekerja/berkarya di sebuah institusi (memang yang bersangkutan jebolan universitas) sudah menjabat jabatan tertentu. Strategis dan tinggi pula jabatannya! Menyingkirkan dan melengserkan orang- orang yang nota bene sudah lama (berkarat) mengabdi di institusinya, padahal si senior sebenarnya juga memiliki kompetensi (kemampuan).
Mengapa? Antara lain karena memang sudah "diskenariokan" dengan ber-asaskan nepotisme, koncoisme dan kedekatan dengan pusat kekuasaan. Atau karena si junior "new comer" yang sudah dikenal "sesaat" dan sudah memperkenalkan diri sebelumnya tersebut, tampak piawai "menjual" presentasinya (teoritisnya) di depan para petinggi institusi.
Sehingga apa yang terjadi? Bukan hanya suasana tidak kondusif yang terjadi didalam institusi, bahkan sering terjadi perlawanan/rongrongan dari para senior yang "cemburu" dengan mengerahkan berbagai daya dan upaya yang bertujuan untuk melemahkan institusi. Terjadi gesekan-gesekan negatif yang berakibat institusi akhirnya menjadi berkinerja buruk. Bahkan tidak jarang terjadi penyimpangan, fraud (kecurangan), institusi tergerus korupsi/manipulasi dan atau kebocoran keuangan.
Orang GJ (Gila Jabatan), akan berusaha sebisa mungkin dan dengan sekuat tenaga dan pikiran, serta dengan segala daya dan dana, agar bisa gol untuk menduduki suatu jabatan tertentu dengan cara-cara yang "gila". Pro aktif melakukan pendekatan "ala mafia" ke pusat sasaran kekuasaan dengan cara menyogok, merekayasa, mengumbar janji-janji dan angin surga, dan lain sebagainya, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan lancar dan mulus.
Ketika sedang menduduki jabatan, berbagai penyalahgunaan jabatan, mendewakan dan pendewaan jabatanpun dilakukan sehingga jabatan tersebut menjadi JG (Jabatan Gila). Menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan berbagai keuntungan atau rejeki dari cara-cara yang tidak mendidik. Biasanya tanpa merasa risih dan atau rasa sungkan, orang atau kelompok type seperti ini akan cepat-cepat "mendepak" para bawahannya yang dicap sebagai pesaing dan atau penghalang berbagai rencana dan perbuatan negatifnya.
Pemimpin "karbit" juga termasuk dalam kategori produk yang cara perekrutannya dilakukan melalui proses dan modus GJ dan JG. Tentu kita pernah merasakan, bahwa ketika kita memakan buah yang dari hasil karbitan, meski bentuk fisiknya cantik dan ranum, tidak jauh beda dengan buah "matang dipohon", namun rasanya kecut, hambar alias tidak enak.
Pemimpin dari hasil proses karbit, meski terlihat gagah dan tambun, namun kompetensi (technical skill, managerial skill, apalagi conceptional skill dan psicologic skill-nya) masih sangat dipertanyakan/diragukan. Bak buah karbit yang rasanya kecut, hambar dan tidak enak atau tidak nikmat, jika diibaratkan pemimpin, pemimpin karbitan (yang matang/masak dengan cara dipaksakan) biasanya juga tidak enak, tidak bijaksana sehingga tidak disukai oleh para bawahannya, oleh rakyatnya atau oleh masyarakatnya!
Mungkin masih akan lebih enak atau lebih nikmat rasanya pemimpin yang sudah "matang dipohon", meskipun barang kali pemimpin tersebut tidak dan atau belum mengantongi SK (Surat Keputusan) pengangkatan (kembali) jabatannya ............. (!?).
Penutup
Uang haram tidak ada. Tidak ada pula jabatan gila. Yang haram dan yang gila mungkin hanya cara untuk mendapatkannya saja. Yakni mendapatkan uang dengan cara tidak halal atau haram (melanggar hukum), dan mendapatkan atau untuk menduduki suatu jabatan tertentu, yang biasanya "pasti basah" atau paling tidak "berlumpur", yakni dengan cara-cara gila (melanggar etika dan hukum), antara lain melalui "by pass" ke pusat kekuasaan, rekayasa/aturisme, karbitisme, koncoisme, nepotisme dan berbagai cara serta trik lainnya .
Tidaklah salah jika setiap orang berusaha untuk mencari dan mendapatkan : "Hamoraon (Harta kekayaan), Hagabeon (Kesuksesan/jabatan) dan Hasangapon (Kehormatan, kebahagiaan dan kesejahteraan), asal saja cara-cara mencari dan mendapatkannya wajar dan dilakukan secara pure competition.
Kalimat dari sepenggal syair lagu nostalgia "terkenal" tersebut diatas adalah sesuatu hal yang wajar untuk diaplikasikan didalam sebuah kehidupan. Asal saja cara untuk mendapatkan ke- 3 H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) tersebut dilakukan melalui cara-cara yang wajar, halal, jujur dan adil yang tidak membuat orang/pihak lain menderita karenanya.
Terutama, biasanya ini terkait didalam praktek Pemilukada. Karena banyak diantara calon Gubernur, Bupati dan Walikota yang ingin menduduki jabatan tersebut dengan slogan: "Vini, Vidi, Vici ", yakni siap datang/ikut, siap main/bertarung dan siap pula menang. Tapi ....... mengapa tidak siap untuk kalah??
Buktinya, bahwa hampir setiap calon kepala daerah yang kalah dalam Pemilukada selalu merasa tidak puas atau tidak menerima putusan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) sehingga berlanjut melakukan gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) padahal umumnya hanya bermodalkan alasan sumir dan minim, bahkan ada yang sampai "membeli saksi " agar gugatannya dikabulkan, namun sangat jarang gugatan mereka (pihak yang kalah) diterima oleh MK.
Bahkan masih ada lagi ketidak-puasan lain. Jika keputusan MK menolak gugatannya, mereka (pihak yang kalah tersebut) pasti akan menyatakan dan mencap bahwa MK itu tidak adil, atau MK itu arogan, atau MK itu tidak berwenang untuk mengadili perkara Pemilu, termasuk Pemilukada, dan lain sebagainya.
Padahal mereka, yang nota bene para pejabat teras daerah (baik incumbent maupun yang non-incumbent) ternyata belum secara jelas menyimak dan memahami peraturan, terutama materi UU RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, khususnya pasal 10 ayat 1 huruf d yang menyatakan bahwa : " MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum", termasuk Pemilukada!
Sehingga, ke depan, janganlah sampai ada lagi calon pemimpin sebuah institusi (sipil maupun non-sipil) dan atau calon kepala daerah di negeri kita tercinta, bahwa untuk memperoleh/mendapatkan jabatannya harus menganut dan memeluk faham (anekdot) : "Kacang bogor, biar tekor asal kesohor!". Alusi au, dengarlah aku .............. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar