Mempertahankan Leluhur

Mempertahankan Leluhur
Desa Simatupang MUARA-TAPUT

Selasa, 02 November 2010

Kasih Sepanjang Masa

Kasih ibu sepanjang masa bukanlah ucapan isapan jempol belaka, tak ada yang lebih indah dari kasih seorang ibu, ibu yang melahirkan kita, ibu yang mau berjuang dan mau mengorbankan jiwanya demi anak-anaknya yang walaupun perbuatan anaknya bukan lah seperti yang diharapkan…
* * *
Hari menjelang sore.
Aku terdiam membisu, mematung, di samping gundukan tanah merah yang masih basah itu. Satu persatu orang-orang yang sedari tadi terlihat khusyuk mengikuti upacara pemakaman itu beranjak pulang. Tak terkecuali lelaki tua yang sudah lebih separuh baya itu. Sejenak mulutnya komat-kamit menyampaikan doa kepada si pemberi kehidupan dan kematian, menyampaikan doa. Aku melihat dia mengusap gundukan tanah merah di depanya dan dengan mulut setengah berguman, mengucapkan selamat jalan pada seseorang yang terbujur kaku dibalik gundukan itu.
Lalu bangkit dari tempatnya jongkok dan berjalan menghampiriku, dan mengajakku pergi meninggalkan tempat itu, “Ayolah pulang amang, kau antarkanlah famili-famili kita ini pulang”
“Iya….” Sahutku pendek.
“Jangan lupa, nanti ke rumah, masih ada acara kita” ujarnya mengingatkanku. Kami bergegas dalam kebisuan kami masing-masing, terbawa dalam suasana hati yang tak terlukiskan.
* * *
Pagi-pagi benar Nai Haposan sudah bersiap-siap dengan bakul besar yang biasa dibawa ke pasar. Seperti hari-hari sebelumnya, berbagai macam buah-buahan seperti pisang dan jeruk yang dibeli dari pasar induk, telah dipersiapkan untuk dijual di pasar pagi yang tak jauh dari rumahnya. Berapa banyak pisang yang sudah terjual, dia tidak menghitungnya, yang dipikirkan adalah bagaimana mendapatkan uang untuk beli beras nanti siang sepulang dari pasar untuk dimasak dan dimakan bersama dengan suami, borunya siampudan yang sedang sakit, juga pahompunya dari putri pertamanya yang di Kalimantan yang dititipkan kepadanya.
Dinginya pagi, juga rasa kantuk yang teramat sangat, seolah tak dirasakannya lagi. Dengan sigap dia menjinjing bakul yang sudah dipersiapan tadi, sebentar pandanganya tertuju ke pahompunya, Angela, masih tertidur pulas.
Dia menghela napas panjang dan mengusap kepala mungilnya, seandainya sudah bangun, pasti minta ikut. Di samping cucunya, AmaniHaposan suaminya, terlihat sangat pulas, dan tak sampai hati membangunkannya untuk mengantarkanya ke pasar. Rasa iba menyelimuti hatinya tak kala memandang AmaniHaposan, di hari tuanya ini dia harus bekerja keras menghidupi keluarga ini, kerja serabutan, kadang menarik angkot, atau kerjaan lain yang tidak menetap.
Di kamar sebelah, dengkuran boru siampudanya masih terdengar dengan jelas, ia tahu kalau semalam borunya ini telat tidur akibat penyakit kejiwaan atau stress ringan yang dialaminya kambuh. Betapa kasihan Nai Haposan melihat borunya di umurnya yang 32 tahun terihat seperti seonggok daging hidup. Tak ada yang menyangka kalau boru siampudannya ini akan seperti ini. Masih terbayang di wajah Nai Haposan keadaan borunya beberapa tahun yang lalu lalu. Betapa cerianya boru siampudan ini tak kala masih bekerja disalah satu perusahaan elektronik Korea, tak jauh dari rumahnya.
Dulu, NaiHaposan tidak sesusah sekarang ini. Borunya Tiurmaida masih bisa membantunya.
Hap H 4
“Sudah kau pikirkan masak-masak, inang??” tanya Nai Haposan, saat Tiurmaida, mengutarakan niatnya berhenti dari tempatnya bekerja. Dan ingin menjadi TKI di Malaysia.
“Iya mak….saya ikut kakak saja ke Malasya, dengar-dengar disana kerjanya lebih ringan dan gajinnya lebih besar.” Tiurmaida mencoba menerangkan kenapa dia mau berhenti.
“Lagian, sekarang perusahaan menawarkan pensiun dini sama karyawan lama seperti kami dan dapat THR 50 kali gaji, kan lumayan ma…..” imbuhnya
Itulah awal petaka itu terjadi, Tiurmaida berhenti bekerja dan mencoba merantau ke Malaysia mengikuti kakaknya nomor dua yang sudah duluan di sana. Walau berat hatinya namun setelah dibujuk-bujuk dan diyakinkan kalau di Malaysya nanti akan dapat pekerjaan yang lebih baik dari sekarang, akhirnya Nai Haposan memberikan restu juga.
“Apa kamu nggak memikiran masa depanmu nak? Kapan kamu akan menikah? ” selidik Nai Haposan suatu hari manakala Tiurmaida baru pulang dari Balai Latihan Tenaga Kerja Luar Negri yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
“Ntar mak,..umur baru 28, kan mash muda, cari duit dulu….” sembari mencium pipi Nai Haposan dan segera berlalu ke kamarnya.
Dua bulan berlalu, Perusahaan yang menjanjikan menyalurkan Tiurmaida ke sebuah perusahaan elektronik di Malaysia belum juga bisa memenuhi janjinya, untuk segera memberangkatkan mereka, yang walau sudah beberapa kali dihubungi ke kantor prusahaan penyalur itu. Berbagai macam alasan, mulai dari masalah imigrasi, surat-surat atau belum siapnya perusahaan di Malaysia menerima mereka.
Akhirnya setelah dirembukkan, Tiurmaida berangkat sendiri kesana menggunakan sisa uang hasil dari pensiun untuk berangkat sendiri ke Malaysia dan menumpang di rumah kakaknya. Berganti bulan, hingga tiga bulan di sana belum juga dapat kerja, Tiurmaida menjadi pemurung dan penyendiri. Hingga suatu hari jatuh sakit dan disarankan oleh dokter untuk segera pulang ke Indonesia. Stress dan depressi, itulah analisa dokter di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta.
* * *
Hari menjelang siang, dagangan Nai Haposan tinggal beberapa sisir lagi dan dia mulai berkemas-kemas untuk pulang. Dia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tampak peluh mulai membanjiri wajahnya yang mulai keriput. Dengan langkah tertatih-tatih dia mencoba mencari angkot Koasi yang melintas didepan rumahnya. Dia ingat kalau pahompunya belum sarapan, suami dan anaknya pasti sudah bangun.
Rutinitas ini sudah menjadi kebiasaan yang saban hari dilakukan oleh Nai Haposan tanpa mengeluh. Terkadang sikap dan perbuatanya inilah yang menarik simpati setiap orang yang melihatnya. Rajin bergereja dan ikut punguan parompuan, mararikamis, dan selalu ikut ke perkumpulan dari marga suaminya menjadi kegiatan lain yang selalu rutin dilaksankan tiap hari minggu. Banyak orang mengira kalau dia sudah janda, suaminya jarang bergereja dan beberapa kali Pendeta yang melayani di gereja itu memberikan sesuatu bingkisan kepada Nai Haposan, karena Pak Pendetanya mengira kalau dia sudah janda dan sendirian merawat cucunya. Satu hal yang paling mengagumkan dari NaiHaposan adalah dia begitu pintarnya berdoa hingga orang yang mendengarkan doa yang diucapkanya ikut terenyuh dan merasa dikuatkan.
Berbeda dengan istrinya, Amani Haposan dulunya adalah preman, lelaki pasaran yang sudah pernah merajai kawasan hutan Palembang hingga Jambi. Semasa mudanya, pernah jadi petarung jalanan, walau perawakanya tergolong kecil, tapi jiwa dan tempramentnya keras, sehingga orang-orang takut padanya. Gelar si Jogal memang pantas disandangnya. Hingga di hari tuanya saja, amani Haposan masih di takuti banyak orang.
Bagi yang mengenal keluarga Amani Haposan, dulunya mereka adalah keluarga orang berada, di jaman orang masih makan singkong sebagai pengganti makan nasi, keluarga ini sudah punya mobil angkutan, Sibualbuali, dan sudah punya mobil sedan. Tak ada yang menyangka kalau keluarga amani Haposan bakal kekurangan. Di salah satu ibu kota kabupaten di tapanuli, keluarga ini sudah terkenal karena orang tua Amani Haposan termasuk seorang pengusaha yang sukses. Sebanding dengan Amani Haposan, istrinya juga berasal dari keluarga berada dan berpendidikan, ayah NaiHaposan yang pejabat pemerintahan. Maka tidak heran pada masa itu, rata-rata orang hanya tamatan SD, NaiHaopsan sudah menamatkan Sarjana Muda. Tapi itulah kenyataan pahit yang harus diterima, seperti lagu di buku koor Nai Haposan ” Songon sorha ni padati do”.
* * *
Dering serak telepon yang teronggok di sudut ruangan itu berbunyi, Amani Haposan tidak segera mengangkat telpon itu, justru memanggil NaiHaposan untuk menjawab panggilan telpon itu.
“Selamat pagi dengan Pak Marbun?” suara serak di seberang cukup mengejutkan NaiHaposan.
“Iya pak, ada, dari mana? Saya Istrinya…”
“O ya bu, Slamat pagi, ini dari Pak Dadang dari Lapas Sukamiskin” terdengar batuk-batuk sebentar sebelum dilanjutkan.
“Begini bu, anak ibu si Linggom mau kami pindahkan ke Lapas lain, jadi sebelum bapak atau ibu sebagai orang tuanya harus datang, berhubung karena sesuatu hal, kami tidak bisa menjelaskan disini. Silahkan datang ke sini hari minggu pagi, kami tunggu….”
“Iya pak, terima kasih…” Nai Haposan menutup telepon dan termenung, terasa air matanya mengalir, sesunggukan dia menatap gang telpon yang masih digenggamnya.
“Ada apa kau menangis?? Ada berita apa?” Tanya Amani Haposan sedikit terkejut melihat Nai Haposan menangis sesudah menerima telepon itu.
“Si linggom, akan dipindahkan lagi, dari Suka Miskin..entah mau kemana”
“Mau dibawa kemana?….kok kau jadi menangis?…biarin saja mampus itu anak, dasar anak durhaka!” AmaniHaposan bicara dengan nada tinggi.
“Dari dulu kan sudah kubilang, nggak usah diurusin itu anak, biar mati saja sekalian, mau dipenjara seumur hidup mau dihukum mati, aku suda rela, dia sendiri yang membuat dirinya seperti itu.”
“Tapi pak,…dia kan anak kita”
“Aku saja yang dari kecil sudah preman, sudah banyak keluar masuk penjara, tapi belum pernah masuk karena narkoba, sok jagoan, kecil-kecil sudah pakai narkoba, selalu merepotkan orang tua, kau uruslah itu, aku sudah muak melihatnya.
Tanpa terasa, air mata Nai HAposan semakin deras mengalir dipipinya, pahompunya yang melihatnya menangid, yang tidak tau apa-apa mencoba menghapus air mata dari pipinya. Angela sudah bias mengerti, lagi-lagi oppungnya ribut lagi gara-gara ulah bapaudanya si Linggom. Walau belum pernah bertemu, gadis kecil ini tau kalau dia punya bapa uda yang tengah di penjara dibandung, dia tahu dari kebiasaan oppungnya ribut-ribut itu.
Linggom, anak siampudan NaiHaposan, entah bagaimana ceritanya menjadi pemakai dan penjual narkoba didaerah tempat tinggal mereka. Bagi NaiHaposan, seburuk apapun tingkah lagu anak, itu adalah kesalahan orang tua. Jujurnya, sudah berbagai macam cara dilakukan supaya Linggom berubah. Kini, hanya doa yang setiap malam dipanjatkan NaiHaposan. Dia yakin hanya Tuhan yang bias merubah perilaku anak kesayanganya itu.
* * *
Minggu pagi yang cerah, tidak seperti biasanya Nai Haposan sudah memakai baju kebaya, hari ini dengan wajah murung seolah menangis, dia mempersiapkan bekal diperjalanan untuk menjenguk anaknya ke Lapas SukaMiskin. Dia akan berangkat sendiri, tanpa ditemani oleh Amani Haposan. Bekal dan baju telah dimasukkan ke tasnya, juga uang hasil dari pinjaman ke tetangga untuk beli rokok buat penjaga-penjaga lapas nantinya di Bandung.
Sebagai seorang ibu yang melahirkannya, NaiHaposan selalu mencintai dan sangat merindukan anaknya siampudan, si Linggom. Walaupun dimata suaminya si Linggom adalah anak durhaka, namun bagi dia, Linggom yang dilahirkan dari rahimnya, adalah anaknya, yang walau sekarang dia berulah, mudah-mudahan dengan segala nasihatku dan doaku, dia berubah. Itulah yang selalu dikatakan dalam hati dan diyakininnya. Dia juga teringat kotbah pendeta di hari kamis yang lalu di parguruan pararikamis, dari seratus domba yang ada, ada satu yang hilang, dan si pemilik kawanan domba akan selalu berusaha mencarinya.
Pengaruh pergaulan bebas dan lingkungan, juga ketidak adanya keseriusan pasangan suami istri dalam mendidik dan memberikan pengajaran di rumah adalah menjadi salah satu penyebab kenapa banyak anak remaja terperosok kedalam jurang Narkoba. Peran serta orang tua adalah merupakan kunci utama untuk menyelamatkan remaja dari pergaulan dengan narkoba. Adanya komunikasi terbuka antara anak dan orang tua bisa menjadi penangkal terjerumusnya seorang anak kepada narkoba. Faktor lain adalah keharmonisan hubungan suami istri. Keluarga yang broken home sangat rentan dan mudah mempengaruhi sianak menjadi pengguna narkoba. Si ibu tidak peduli demikian si ayah, lalu si anak menjadikan narkoda sebagai pelarian hidupnya.
Pendidikan agama dipandang sebagai penangkal lain terjerumusnya anak ke dalam narkoba. Banyak sekali anak-anak memakai narkoba hanya sebagai pelarian karena di rumah tidak merasa nyaman lagi, bapak dan ibunya berantem trus. Rumah sudah dianggap sebagai neraka.
* * *
Hari sudah siang, sejuknya udara kota Bandung dengan hembusan angina sepoi yang semilir terasa manakala dia mulai melintasi kota ini. Pun suasana ini tidak menjadikan perasaan Nai HAposan menjadi nyaman.
Peluhnya bercucuran, menapaki setiap jengkal pelataran parkir lapas Sukamiskin. Pandanganya kosong, pikiranya kalut dan kacau. Peluhnya bercucuran dan badannya gemetaran menahan lapar yang mulai dari tadi pagi belum makan. Semuanya menjadi satu dan sudah dikalahkan oleh perasaan tersiksa karena tidak bisa bertemu dengan Linggom. NaiHaposan terlambat.
Menurut informasi dari petugas piket, anaknya si Linggom sudah dipindahkan tiga jam yang lalu dan berhubung ini hari minggu, maka informasi lebih lanjut kemana si Linggom di pindahkan tidak bisa didapat Nai Haposan.
Tertatih sambil mendekap bungkusan makanan, ayam kampung yang sengaja digoreng dan telah dipersiapkan olehnya berharap bias di santap bersama si Linggom, dia tahu kalau anaknya ini paling suka dengan makanan ini. Kini semua sirna. Sipir yang baik itu berjanji akan meneleponya untuk memberitahukan dimana keberadaan Linggom.
“Mungkin tidak saatnya untuk bertemu dengan si linggom sekarang, lebih baik saya pulang sebelum hari gelap” guman Nai Haposan dalam hatinya. Pikiranya kalut, hanya mulutnya yang terlihat komat-kamit memanjatkan doa untuk kesalamatan si Linggom.
NaiHaposan memutuskan untuk pulang ke Jakarta, menunggu berita dari pihak Lapas seperti yang dijanjikan. “Linggom, dimana pun kau nak, Tuhan menyertaimu, berubahlah nak…” doanya dalam hati.
“Braakkk…..” becak yang ditumpangi NaiHaposan ditabrak mobil dari belakang. NaiHaposan terpental ke aspal dan seketika pandangannya bekunang-kunang, dia juga masih melihat tukang becaknya juga terjungkal dan masuk terperosok kedalam got. Seraya meringis dan menahan sakit, dia berusaha berdiri. Pandanganya mulai kabur, dan terasa sakit di bagian belakang kepalanya, akibat terbentur sesuatu, namun Nai Haposan masih sadar dan masih bisa bicara. Orang-orang berdatangan dan mengerumuni dan menolongnya. NaiHaposan tak ingat apa-apa lagi, pingsan!.
* * *
Hari menjelang malam, Pak Asep, tidak mengijinkan Nai Haposan untuk pulang ke Jakarta. Dia tahu kalau NaiHaposan baru beberapa jam ini sadar dari pingsannya. Pak Asep khawatir keadaannya bila dipaksakan pulang.
“Sebaiknya ibu menginap saja dulu di sini, sembari ibu menelepon bapak ke Jakarta, kami khawatir keadaan ibu” Pak Asep mencoba menyarankan. Dia sadar, sebagai orang yang telah menabraknya, dia harus yankin kalau Nai Haposan harus benar-benar sehat hingga pulang ke Jakarta.
“Pulang saja pak, masih banyak yang harus saya kerjakan”
“Ibu masih lemah..”
“Masih bisa saya tahankan, sudah cukup baikan, suami anak dan cucuku nanti khawatir menungguku…” NaiHaposan mencoba meyakinkan. Pak Asep mencoba meyakinkan, dan bila perlu dia akan mengantarkan NaiHaposan ke Jakarta besok kalau AmaniHaposan tak bisa menjemputnya.
Akhirnya, tawaran ini pun di setujui oleh Nai Haposan dan segera dia menelepon ke Jakarta untuk dijemput oleh amani Haposan dan menceritakan sedikit kejadian yang telah menimpanya, dan meyakinkan amani Haposan kalau dirinya sehat-sehat saja.
Malam mulai beranjak, sang penguasa malampun muli menampakkan dirinya. Kabut tipis dan gerimis mulai turun, terasa membuat hati beku. NaiNaposan memandang foto si Linggom yang selalu dibawa diselipkan di dalam dompetnya, tak terasa jari tanganya yang kasar dan keriput mengelus wajah di foto kecil itu.
“Berubahlah nak, jadilah penurut bagi ayah ibumu, ibu selalu menantimu dan selalu mencintaimu, ibu sanggup berbuat apa pun, asal kamu mau berubah,..” tak henti-hentinya mulut Nai Haposan komat-kamit berguman, tanpa disadarinya air matanya meleleh kembali dipipinya. Pak asep dan istrinya memandanginya dari dalam rumah, memberikan kesempatan untuk Nai Haposan menyendiri, mereka tahu perasaannya, karena sebelumnya Nai Haposan sendiri sudah menceritakan, dari awal hingga terjadinya tabrakan itu.
Pak Asep kaget, melihat NaiHaposan ambruk dan terjatuh di teras rumah itu. Pingsan dan tak sadarkan diri.
* * *
Pendarahan di otak yang tidak disadari dan menjadi penyebab kepergian NaiHaposan selamanya. Tak kusangka kepergian MakTua, demikian aku memanggilnya begitu memilukan. Pikiranku menari-nari dalam otakku. Aku memaki si Linggom saudara sepupuku dalam hati. Sungguh!.
Bendera kuning masih terpasang di gang menuju rumah, aku memarkirkan mobil dan segera menyusul rombongan ke rumah duka. Masih banyak yang harus dirundingkan, semua keluarga dekat masih harus berkumpul. Membicarakan berbagai macam hal yang berhubungan dengan acara pemakaman NaiHaposan.
“PaTua, cobalah menghubungi Linggom, dia harus tahu” kataku ketika perundingan cukup alot. AmaniHaposan bertekat untuk tak memberitahukan kepergian istrinya. Setelah semua memberikan pengertian, akhirnya dia mengiyakanya.
Beberapa menit, dengan dengan bantuan petugas Lapas Sukamiskin aku bisa menghubungi Linggom setelah menceritakan semua apa yang terjadi.
” Halo, kaunya itu linggom? Kau dengar ini ya, aku tidak bisa lama-lama, aku hanya mau beritahu kau, kalau Ibumu sudah meninggal, dan sudah dimakamkan di Pondok Bambu, ibumu meninggal karena kecelakaan hari minggu kemarin. Waktu kau di pindahkan dari Sukamiskin, ibumu menjenguk kau, tapi kalian tidak sempat bertemu dan dia ditabrak mobil, pendarahan di otaknya,….jadi kalo kau sudah bebas nanti, kau pergilah jenguk ibumu, aku dan itomu juga beremu mungkin bulan depan mau pindah, pulang ke kampung ke tapanuli….
Linggom membisu dan beribu pikiran menyelimuti otaknya, tak ada kata yang terucap, diam seribu bahasa, perlahan isak tangisnya terdengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar