Mempertahankan Leluhur

Mempertahankan Leluhur
Desa Simatupang MUARA-TAPUT

Rabu, 29 September 2010

HABONARAN DO BONA (Harian SIB)

Pada lambang pemerintah daerah Kabupaten Simalungun tertera kata Habonaron Do Bona. Ungkapan itu merupakan fhilosofi budaya Simalungun yang dicetuskan para leluhur (founding fathers) Simalungun, dengan harapan tiap-tiap aspek kehidupan, baik di pemerintahan, sosial dan budaya haruslah berlandaskan habonaron (kebenaran) agar “berbuah” pada keadilan.
Tak dapat dipungkiri, pendiri Simalungun di masa lampau sangat konsisten menjunjung tinggi falsafah hidup Habonaron Do Bona, Hajungkaton do Sapata. Dengan semboyan kebijakan”, parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”. Terjemahan bebasnya, sesuatu keputusan haruslah dipikirkan masak-masak, dan sekali ia memutuskan maka ia tak boleh menarik keputusannya walaupun kuping akan dipotong.
Andaikata, falsafah ini sejak dahulu dipupuk dan dirawat, mulai dari zaman kerajaan, kolonial, orde lama, orde baru dan masa reformasi, sekaligus di implementasikan pada tiap-tiap aspek kehidupan, khususnya oleh pemimpin Simalungun, diyakini akar habonaron yang ditanam pendiri Simalungun itu, sekarang telah dipetik buahnya, yaitu berupa “buah” keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kalau demikian, apa yang harus dirubah?, Apa yang salah jika akar habonaron itu tidak “tumbuh dan berbuah”? Apa yang salah jika falsafah budaya Simalungun itu, tidak jarang hanya sebatas wacana-wacana melulu, namun tidak diimplementasikan dalam aspek-aspek kehidupan?
Apa yang salah jika birokrasi di Simalungun sulit berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya in-efesiensi, bahkan tidak jarang berbelit-belit, dan sering pula aturan formal tidak ditaati berupa transparansi dan akuntabel? Lantas, perubahan yang bagaimana harus dilakukan untuk mewujudkan perubahan berlandaskan habonaron do bona?
Habonaron do bona, yang diagung-agungkan sebagai falsafah budaya dan fundasi kehidupan Simalungun, kenyataannya lebih sering dipajang sebagai simbol-simbol belaka. Tak hanya itu, ia sering dipermainkan dalam adegan politik membenarkan budaya kebiasaan, dengan memutarbalikkan situasi, yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah.
Tidak jarang pula, pihak-pihak yang berkompeten dalam mengambil keputusan tentang urusan rakyat, serba paradoks. Kontradiksi dengan habonaron, enggan mengatakan tidak, enggan pula mengatakan ya, tidak jelas ya dan tidaknya, bukan hitam dan bukan putih, tetapi abu-abu, ia bisa berkelit ke hitam dan bisa berpindah ke putih, nilai habonaron (kebenarannya) ganda.
Dalam konteks ini, ada dua pilar habonaron yang dikikis yaitu; mental sumber daya manusia (human resources) dan budaya kebiasaan (cultural resources) yang salah. Dua pilar inilah yang merupakan faktor utama menghambat pertumbuhan dan perkembangan akar habonaron.
Kendati habonaron dan bona jadi falsafah budaya Simalungun, ternyata habonaron masih menjadi “barang langka”. Habonaron itu masih sering tenggelam dalam lumpur perasaan (ahab) yang saling curiga, tertutup, cari aman sendiri, kepentingan sendiri maupun kepentingan kelompok.
Semakin lama akar habonaron itu, seperti tumbuh tanpa karakter (jatidiri), kian buta melihat habonaron. Habonaron tak lagi dihayati dan dimasukkan dalam kata hati, habonaron hanya dilihat dalam kepentingan berkata-kata, tanpa aktualisasi nyata. Bahkan tak jarang muncul penilaian di tengah-tengah masyarakat, orang yang menegakkan habonaron dinilai sebagai orang bodoh.
Itu terjadi dikarenakan eksistensi dan martabat habonaron do bona, tidak jarang digembosi oleh pihak-pihak luar. Hal itu, bisa terjadi dengan mudah dilakukan pihak luar, tak lain dan tak bukan karena para pemangku habonaron do bona, sadar atau tidak sadar, juga sering melakukan penggembosan yang sama, atau setidaknya membenarkan kebiasaan, belum membiasakan kebenaran.
Kurangnya kepekaan dan perhatian terhadap nilai-nilai habonaron do bona cukup mencemaskan: lampu kuning jika Simalungun ingin membudayakan falsafah habonaron do bona pada tiap-tiap aspek kehidupan. Karena kini orang tak malu-malu lagi untuk memutarbalikkan habonaron dengan nilai-nilai lidah kepintarannya.
Pintar dianggapnya jauh lebih bernilai daripada benar, padahal sejatinya masih lebih baik menjadi orang benar meski tidak pintar. Tentu yang terbaik adalah jika orang benar itu juga orang pintar daripada menjadi orang pintar tetapi tidak benar. Itulah tragedi habonaron do bona, banyak orang pintar tidak benar dan banyak orang tidak benar yang tidak pintar.
Meski terdapat ketidakkonsistenan antara cita-cita founding fathers dengan generasi penerus Simalungun, tentang membudayakan habonaron do bona sebagai falsafah budaya Simalungun ini, semestinya tidak mengurangi pentingnya peran habonaron do bona sebagai landasan perubahan.
Adanya ketidakkonsistenan antar generasi itu, dapat dijadikan sebagai faktor pendorong untuk terus membuka mata tentang makna habonaron dalam mengaktualkan semangat jatidiri habonaron do bona. Semua itu, tak boleh hanya sebatas wacana-wacana dalam melakukan perubahan, tapi harus terprogram cara-caranya dengan baik dalam norma-norma aturan dan peraturan. Terutama dalam melakukan transformasi sosial budaya dengan nilai-nilai habonaron yang bermartabat.
Sebab martabat habonaron tidak buta, melainkan dapat menentukan hitam atau putih. Jika hitam tentu tidak putih, dan jika putih tentu tidak hitam. Tinggal menyatakan setuju atau tidak setuju, kalau setuju berarti mau membiasakan yang benar, kalau tidak setuju berarti masih membenarkan kebiasaan.
Dapat dipahami, perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik, tetapi tanpa perubahan tidak ada kemajuan maupun pembaruan. Dan perubahan, “bukan pula sekedar proses transisi dari satu pemimpin ke pemimpin baru, ataupun ganti pemimpin ganti kebijakan.”
Untuk membawa perubahan yang berarti berlandaskan habonaron do bona, perubahan bukan hanya tergantung pada struktur kebijakan, tetapi juga amat tergantung pada sikap mental masyarakat. Mental memang tidak dapat disalahkan karena itu adalah akibat. Mentalitas adalah mekanisme yang beradaptasi dengan sistim, lalu berkembanglah sikap-sikap tertentu yang membenarkan ke dalam diri pribadi dan pribadi orang lain.
Oleh karenanya, dalam konteks ini, pemimpin Kabupaten Simalungun, ke depan harus benar-benar kuat dan punya political cunning, yaitu cerdik secara politik untuk menghentikan tawar menawar politik yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, karena merekalah yang memiliki otoritas untuk mengubahnya.
Alternatif lain adalah pembaruan kelembagaan dan membuka komunikasi dengan berbagai elemen masyarakat, untuk membangkitkan pertukaran argumen secara bertanggungjawab menuju pada konsensus pemikiran terbaik.
Misalnya, “perbaikan pelayanan publik yang langsung menyentuh kepentingan rakyat paling riil, seperti pembuatan kartu tanda penduduk, akte kelahiran, pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur kemajuan desa (nagori). Jika birokrasi bidang ini dibenahi, secara spontan dukungan akan datang dari rakyat dan “itu akan mengurangi tekanan politik di balik layar”.
Intinya, harus ada pengendalian eros (nafsu mengeruk keuntungan sebanyak mungkin tanpa peduli kepentingan masyarakat) berubah menjadi etos kerja yang jujur, dan transparan. Bagaimanapun, “buah” keadilan merupakan tujuan dan tolak ukur tumbuh berkembangnya akar habonaron.
Selain itu, harus pula muncul tokoh panutan (baik dari kalangan executif maupun legislatif) yang benar-benar bisa diteladani masyarakat. Tidak lagi berprilaku seperti selama ini, tingkah lakunya tidak dapat diteladani, sebab tidak jarang di antara mereka hanya bekerja untuk diri sendiri daripada untuk rakyat. Lebih parahnya lagi, mereka justru bekerja untuk stabilitas kekuasaannya.
Sisi lain yang tak boleh diabaikan dalam membudayakan habonaron ini, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat amat penting. Masyarakat harus turut serta melakukan kontrol terhadap pemegang kekuasaan serta berkelanjutan. Tanpa ada kontrol dari masyarakat, pemegang kekuasaan bisa melakukan penyimpangan, sikap apatis masyarakat selama ini terhadap kekuasaan, turut menjadi penyebab akar habonaron tidak tumbuh, berkembang dan “berbuah” pada keadilan.
Akankah perubahan yang berdasarkan falsafah budaya habonaron do bona, bisa menjadi Simalungun dari daerah kurang maju jadi maju, yang selama ini tidak adil jadi adil, pembangunan tidak merata jadi merata, birokrasi yang terkesan masih tertutup jadi transparan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku? Dan tidak mengubah keputusan yang telah disepakati seperti yang dicetuskan the founding father Simalungun, yaitu tetap kokoh pada keputusan hingga terwujud, apapun taruhannya?
Ada baiknya, keputusan dan kebijakan apa pun itu, dan siapa pun yang terkait di dalamnya (terutama yang selama ini hobby membenarkan kebiasaan) tak terkecuali dari kalangan executif dan legislatif, yang menjadi bagian dalam mengambil keputusan di bumi habonaron do bona. Terlebih dahululah berubah diri sekarang juga, sebelum perubahan itu menggilas impian dan harapan anda.
Karena stakeholder Simalungun, sudah barang tentu tidak mau lagi kehilangan “buah” keadilan akibat praktek kehidupan yang mengkhianati cita-cita para pendiri Simalungun, yaitu berupa sering menarik keputusan di balik layar demi memuluskan kepentingan pribadi dan kelompok. Ayo hentikanlah membenarkan kebiasaan berubahlah membiasakan yang benar. (Penulis pemerhati sosial kemasyarakatan YSS Medan, Dari Perasmian Dolok Silau Simalungun/c/d)

Senin, 13 September 2010

Pantun Hangoluan Tois Hamagoan

Berarti sudah diajarkan oleh nenek/kakek moyang kita sejak dulu punya Phisokolog yg tinggi, mengapa kita tdk memelihara Dasar Dalihan Natolu, agar Visi kita tercapai yakni " ADIL & MAKMUR serta DAMAI slalu

Sai Mangaranapi do ahu dompak Dolok

Boasa sai pola marangan angan iba di ngolu satokkin on? Ai di Pahipas do hita mangula ulaonta